Tak Patah Semangat, Nenek Hawsah Tetap Bekerja Meski Berusia Lanjut. |
Kelurahan Rabadompu Barat merupakan
sentra produksi kain tenun tradisional di Kota Bima. Pasarannya tak hanya di
daerah. Namun merambah Jakarta hingga Eropa. Kain-kain tenun tradisional
berkualitas itu dihasilkan para wanita lanjut usia yang masih rajin merajut benang-benang
kusut demi kebutuhan sehari-hari. Catatan Fachrunnas.
Bunyi tok-tok
mendominasi setelah memasuki sebuah lorong gang satu setengah meter di
Kelurahan Rabadompu Barat Kota Bima sore itu. Di emperan rumah sederhana,
beberapa wanita paruh bayah tampak sibuk memainkan alat tenun tradisional.
Beberapakali tangan kanan mereka sibuk mengurai benang. Tak jauh dari lokasi
tersebut, di sudut persimpangan gang, sebuah rumah susun berdiri kokoh seolah
menaungi beberapa bangunan di sekitarnya. Semakin mendekati rumah itu,
bunyi tok-tok semakin terdengar jelas.
Sebuah tangga kecil samping rumah menuju lantai dua bangunan itu.
Di sebuah
ruangan kecil di lantai dua bangunan rumah itu, tangan-tangan terampil lanjut usia merajut benang-benang kusut
menjadi harapan untuk menyambung hidup. “Anggota kelompok kami ada 100 orang.
Kalau khusus yang tenun di sini ada sekitar 19 orang,” ujar Siti Halimah, Ketua
Kelompok Tenun Songket Mekar Sari Kelurahan Rabadompu Barat Kota Bima.
Sanggar Mekar
Sari menampung sedikitnya 20 wanita di Kelurahan Rabadompu Barat. Beberapa
diantaranya merupakan wanita putus sekolah dan lanjut usia seperti nenek Hajnah
dan nenek Hawsah.
Dalam ruangan
7x7 meter itu, setiap sore nenek Hawsah selalu merajut benang-benang kusut
menjadi produk kerajinan mulai dari sarung khas Bima hingga baju bermotif
daerah. Tak ada pilihan bagi wanita 70 tahun ini untuk mengayak harapan hidup
lebih baik setelah 10 tahun ditinggal suaminya. Setidaknya ia masih memiliki
satu tanggungan anak.
“Kalau tidak
kerja mau makan apa? Saya sudah terbiasa sejak kecil kerja tenun begini,” ujar
wanita yang bekerja tanpa kacamata ini.
Menurut
Halimah, selain nenek Hawsah, sebagian besar yang menenun kain adalah wanita
lanjut usia. Itu karena mereka sudah terbiasa yang memiliki keterampilan
menggunakan alat tenun tradisional dan pemintal benang. Setiap dua hingga tiga
bulan, nenek Hawsah dan kawan-kawannya mampu membuat hingga 10 lembar kain.
Upah yang
diterima nenek Halima pun tak banyak, hanya berkisar antara Rp200 ribu hingga
Rp300 ribu. Namun tenunan yang dihasilkan tangan para wanita lanjut usia itu
berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta.
“Satu juta
lima ratus ribu itu belum bersih karena termasuk untuk biaya bahan dasar.
Harganya kita sesuaikan dengan motif atau tingkat kesulitan dan bahan,” ujar
Halimah.
Usaha
kelompok tenun tradisional di Kelurahan Rabadompu Barat tak langsung berkembang
seperti saati ni. Halimah mengawali usaha itu
dengan modal Rp50 ribu yang dipinjam dari sejumlah kenalannya tahun 1985
silam. Saat itu, warga asli Kecamatan Bolo Kabupaten Bima ini mengawalinya
dengan menjadi pengepul kain tradisional. Kain-kain hasil kerajinan tenun warga
di Kelurahan Rabadompu Barat di home industri dibeli oleh Halimah kemudian
dijual kepada para pejabat dan pegawai di kantor pemerintahan yang terbiasa melaksanakan
arisan. Sebagian kain dijual kepada warga yang mencari oleh-oleh khas Bima.
Pada tahun
1999, Halimah kemudian berinisiatif mendorong para penenun agar berkembang
dengan membentuk sanggar tenun. Wanita-wanita termasuk lanjut usia yang
memiliki talenta merajut kain dikumpulkan dalam kelompok Mekar Sari.
Harapannya, dengan membentuk kelompok, penenun mendapatkan ilmu dalam
mengembangkan motif sehingga produk yang dihasilkan laku terjual di pasaran.
Setelah 17
tahun terbentuk, kelompok Mekar Sari terus berkembang. Halimah juga membentuk
beberapa kelompok tenun kecil di kelurahan lain di Kota Bima seperti Kelurahan
Nungga, Ntobo, Nitu, Kumbe dan Oi Fo’o, sehingga jumlah penenun yang bergabung
sebanyak 100 orang. Hasil karya para penenun kemudian dikumpulkan Halimah dan
dipasarkan melalui sosial media facebook dan BBM.
“Kalau dulu
awal-awalnya kami masih kesulitan modal. Bahkan kalau dulu banyak pegawai yang
beli kain itu bayarnya belakangan. Tapi sistem kami setelah dipasarkan secara
online harus langsung bayar,” ujar wanita yang mengawali usaha tenun dengan
menjadi penjual jajan khas Bima ini.
Kini, hasil
kerajinan para penenun yang tergabung dalam Sanggar Mekar Sari ada yang
dibandrol hingga Rp1,5 juta karena disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan motif.
Bahkan kelompok Mekar Sari telah memiliki dua stand yang menjual berbagai hasil
kerajinan mulai dari sarung, baju berbahan dasar kain tradisional, tas hingga
berbagai pernik lain. Dua stand itu berada di jalan Ir. Soetami Kelurahan
Rabadompu Barat dan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima.
Halimah
mengaku omzet penjualan hasil kerajinan mencapai Rp50 juta per bulan dari
penjualan masrais, kain nggoli dan katun biasa (lendo). Setiap motif hasil
kerajinan kelompok Mekar Sari sudah memiliki hak paten yaitu Nggusu Waru.
“Alhamdulillah
pasarnya sekarang tidak hanya dalam daerah tapi sampai Jawa dan beberapa daerah
lain bahkan di luar negeri seperti Eropa,” ujarnya.
Dari hasil
usaha produk tenun tradisional ini, Halimah mengaku mampu menyekolahkan anaknya
hingga perguruan tinggi. Anak pertamanya sudah menuntaskan pendidikan di
Universitas Gajah Mada dan kini menjadi dosen. Dua anak Halimah yang lain,
kuliah di STIE dan STT PLN kemudian melanjutkan S2.
“Kalau suami
saya hanya kerja swasta gitu, kadang ada, kadang tidak. Tapi alhamdulillah dari
usaha ini tiga anak saya kuliah sampai
S2,” ujarnya.
Tantangan
lain yang dihadapi kelompok yaitu tidak adanya belum adanya regerasi secara
berkelanjutan para penenun handal. Kelompok Mekar Sari sengaja mempertahankan
menggunakan alat tenun dan pemintal benang tradisional untuk mempertahankan
ciri khas kain tenun Bima. dari hasil kerja keras para penenun, kelompok Mekar
Sari pernah meraih juara lomba hasil kerajinan tenun tingkat Provinsi NTB dan
juara tiga tingkat nasional (*)