Merajut Asa Diantara Benang Kusut -->
Cari Berita

Free Space 970 X 90px

Merajut Asa Diantara Benang Kusut

Wednesday, May 17, 2017

Tak Patah Semangat, Nenek Hawsah Tetap Bekerja Meski Berusia Lanjut.

Kelurahan Rabadompu Barat merupakan sentra produksi kain tenun tradisional di Kota Bima. Pasarannya tak hanya di daerah. Namun merambah Jakarta hingga Eropa. Kain-kain tenun tradisional berkualitas itu dihasilkan para wanita lanjut usia yang masih rajin merajut benang-benang kusut demi kebutuhan sehari-hari. Catatan Fachrunnas.


Bunyi tok-tok mendominasi setelah memasuki sebuah lorong gang satu setengah meter di Kelurahan Rabadompu Barat Kota Bima sore itu. Di emperan rumah sederhana, beberapa wanita paruh bayah tampak sibuk memainkan alat tenun tradisional. Beberapakali tangan kanan mereka sibuk mengurai benang. Tak jauh dari lokasi tersebut, di sudut persimpangan gang, sebuah rumah susun berdiri kokoh seolah menaungi beberapa bangunan di sekitarnya. Semakin mendekati rumah itu, bunyi  tok-tok semakin terdengar jelas. Sebuah tangga kecil samping rumah menuju lantai dua bangunan itu.

Di sebuah ruangan kecil di lantai dua bangunan rumah itu,   tangan-tangan terampil lanjut usia merajut benang-benang kusut menjadi harapan untuk menyambung hidup. “Anggota kelompok kami ada 100 orang. Kalau khusus yang tenun di sini ada sekitar 19 orang,” ujar Siti Halimah, Ketua Kelompok Tenun Songket Mekar Sari Kelurahan Rabadompu Barat Kota Bima.

Sanggar Mekar Sari menampung sedikitnya 20 wanita di Kelurahan Rabadompu Barat. Beberapa diantaranya merupakan wanita putus sekolah dan lanjut usia seperti nenek Hajnah dan nenek Hawsah.

Dalam ruangan 7x7 meter itu, setiap sore nenek Hawsah selalu merajut benang-benang kusut menjadi produk kerajinan mulai dari sarung khas Bima hingga baju bermotif daerah. Tak ada pilihan bagi wanita 70 tahun ini untuk mengayak harapan hidup lebih baik setelah 10 tahun ditinggal suaminya. Setidaknya ia masih memiliki satu tanggungan anak.
“Kalau tidak kerja mau makan apa? Saya sudah terbiasa sejak kecil kerja tenun begini,” ujar wanita yang bekerja tanpa kacamata ini.

Menurut Halimah, selain nenek Hawsah, sebagian besar yang menenun kain adalah wanita lanjut usia. Itu karena mereka sudah terbiasa yang memiliki keterampilan menggunakan alat tenun tradisional dan pemintal benang. Setiap dua hingga tiga bulan, nenek Hawsah dan kawan-kawannya mampu membuat  hingga 10 lembar kain.

Upah yang diterima nenek Halima pun tak banyak, hanya berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Namun tenunan yang dihasilkan tangan para wanita lanjut usia itu berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta.

“Satu juta lima ratus ribu itu belum bersih karena termasuk untuk biaya bahan dasar. Harganya kita sesuaikan dengan motif atau tingkat kesulitan dan bahan,” ujar Halimah.

Usaha kelompok tenun tradisional di Kelurahan Rabadompu Barat tak langsung berkembang seperti saati ni. Halimah mengawali usaha itu  dengan modal Rp50 ribu yang dipinjam dari sejumlah kenalannya tahun 1985 silam. Saat itu, warga asli Kecamatan Bolo Kabupaten Bima ini mengawalinya dengan menjadi pengepul kain tradisional. Kain-kain hasil kerajinan tenun warga di Kelurahan Rabadompu Barat di home industri dibeli oleh Halimah kemudian dijual kepada para pejabat dan pegawai di kantor pemerintahan yang terbiasa melaksanakan arisan. Sebagian kain dijual kepada warga yang mencari oleh-oleh khas Bima.

Pada tahun 1999, Halimah kemudian berinisiatif mendorong para penenun agar berkembang dengan membentuk sanggar tenun. Wanita-wanita termasuk lanjut usia yang memiliki talenta merajut kain dikumpulkan dalam kelompok Mekar Sari. Harapannya, dengan membentuk kelompok, penenun mendapatkan ilmu dalam mengembangkan motif sehingga produk yang dihasilkan laku terjual di pasaran.

“Dulu awal-awalnya  harga kain hanya 750 rupiah, kemudian naik menjadi 1.000. naik menjadi empat ribu, tujuh ribu, 10 ribu hingga harganya seperti sekarang ini. Kalau dulu hanya kain nggoli tapi kalau sekarang sudah berkembang,” ujar ibu empat anak ini.

Setelah 17 tahun terbentuk, kelompok Mekar Sari terus berkembang. Halimah juga membentuk beberapa kelompok tenun kecil di kelurahan lain di Kota Bima seperti Kelurahan Nungga, Ntobo, Nitu, Kumbe dan Oi Fo’o, sehingga jumlah penenun yang bergabung sebanyak 100 orang. Hasil karya para penenun kemudian dikumpulkan Halimah dan dipasarkan melalui sosial media facebook dan BBM.

“Kalau dulu awal-awalnya kami masih kesulitan modal. Bahkan kalau dulu banyak pegawai yang beli kain itu bayarnya belakangan. Tapi sistem kami setelah dipasarkan secara online harus langsung bayar,” ujar wanita yang mengawali usaha tenun dengan menjadi penjual jajan khas Bima ini.

Kini, hasil kerajinan para penenun yang tergabung dalam Sanggar Mekar Sari ada yang dibandrol hingga Rp1,5 juta karena disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan motif. Bahkan kelompok Mekar Sari telah memiliki dua stand yang menjual berbagai hasil kerajinan mulai dari sarung, baju berbahan dasar kain tradisional, tas hingga berbagai pernik lain. Dua stand itu berada di jalan Ir. Soetami Kelurahan Rabadompu Barat dan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima.

Halimah mengaku omzet penjualan hasil kerajinan mencapai Rp50 juta per bulan dari penjualan masrais, kain nggoli dan katun biasa (lendo). Setiap motif hasil kerajinan kelompok Mekar Sari sudah memiliki hak paten yaitu Nggusu Waru.

“Alhamdulillah pasarnya sekarang tidak hanya dalam daerah tapi sampai Jawa dan beberapa daerah lain bahkan di luar negeri seperti Eropa,” ujarnya.

Dari hasil usaha produk tenun tradisional ini, Halimah mengaku mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Anak pertamanya sudah menuntaskan pendidikan di Universitas Gajah Mada dan kini menjadi dosen. Dua anak Halimah yang lain, kuliah di STIE dan STT PLN kemudian melanjutkan S2.

“Kalau suami saya hanya kerja swasta gitu, kadang ada, kadang tidak. Tapi alhamdulillah dari usaha ini  tiga anak saya kuliah sampai S2,” ujarnya.

Hasil yang sama juga dirasakan para penenun yang bergabung dalam kelompok yang dibina oleh Halimah. Bahkan beberapa di antaranya ada yang mampu membiayai kuliah anaknya dan ada yang berangkat haji dari hasil kerajinan itu.

Diakui wanita kelahiran 51 tahun lalu ini, usaha tenun tradisional bukan tanpa tantangan. Salah satu masalah yang kerap dihadapi kelompok Mekar Sari yaitu bahan dasar, benang yang kerap naik. Kini bahan baku naik menjadi Rp7.500 per gulung. Biasanya bahan baku tenun dipasok oleh kelompok Mekar Sari di Surabaya. Namun saat kondisi mendadak ketika banyak order, dibeli oleh kelompok di Bima dengan harga yang cukup mahal.

Tantangan lain yang dihadapi kelompok yaitu tidak adanya belum adanya regerasi secara berkelanjutan para penenun handal. Kelompok Mekar Sari sengaja mempertahankan menggunakan alat tenun dan pemintal benang tradisional untuk mempertahankan ciri khas kain tenun Bima. dari hasil kerja keras para penenun, kelompok Mekar Sari pernah meraih juara lomba hasil kerajinan tenun tingkat Provinsi NTB dan juara tiga tingkat nasional (*)