Perempuan Diatas Kursi Kekuasaan (Sejarah Yang Tersembunyi) -->
Cari Berita

Free Space 970 X 90px

Perempuan Diatas Kursi Kekuasaan (Sejarah Yang Tersembunyi)

Monday, July 10, 2017

Oleh: Edy Suparjan, M. Pd
Edy Suparjan, M. Pd

Tema edisi kali ini penulis mengangkat terus mengenai perempuan, selain sangat penting bagi para penggiat Gender, bagi penulis perempuan adalah sosok pahlawan yang tidak ada tandingannya, bukan karena ia sebagai pendekar yang mampu mengalahkan sosok lelaki jantan. Namun perempuan sebagai pahlawan karena mampu memikul berbagai beban yang ada di pundaknya. Untuk itulah penulis sangat berkepentingan menulis tentang perempuan. Karena penulis juga dilahirkan oleh seorang perempuan, sudah sewajarnya penulis mentokohkan kaum perempuan. 

Dalam Historiografi Indonesia sejarah perempuan masih jarang ditulis bahkan sesuatu yang amat langka, entahkah itu kaum lelaki bosan menuliskannya atau memang kurang menarik untuk dibaca ataukah perempuan sendiri yang tidak mau menuliskan sejarahnya sendiri. Hal tersebut tidak perlu kita perdebatkan terlalu panjang, karena akan menghabiskan energi saja. Intinya perempuan harus diberikan porsi yang sama sebagaimana laki-laki baik dalam kehidupan sehari-hari budaya, politik dan lebih-lebih dalam aspek penulisan sejarahnya. Dan harus kita akui kesuksesan kaum laki-laki karena ada perempuan dibalik semua itu, entahkah sebagai motivator ataukah mediator bahkan sampai yang membiayainya.  
Tulisan ini bermaksud mengupas sosok perempuan yang menjadi penguasa dalam lintasan sejarah Nusantara, bahkan kehadiran mereka sebagai seorang pemimpin lumayan mampu membuat masyarakatnya sejahtera bahkan dapat mencerdaskan masyarakatnya.

Tidak berlebihan jika penulis mengatakan gerakan PKK yang selama ini sebagai pelopor pemberdayaan perempuan hanya sebuah simbolis belaka, walau hanya sebatas mengurus ibu-ibu rumah tangga, namun tidak sudi mengurus kekerasan yang dialami perempuan selama ini, khususnya Kota dan Kabupaten Bima. Tapi hal ini sudah ada yang namanya lembaga perlindungan perempuan dan anak, baru-baru ini tiba di daerah Bima dan sedang melaksanakan tugas dan fungsinya, semoga lembaga ini menjadi pamong bagi kaum perempuan dan sebagai masyarakat Bima harus kita dukung penuh kehadiran lembaga ini. 
Terdapat fakta yang menarik bahwa di Nusantara pada jaman kerajaan kaum perempuan sudah mendapatkan tempat dan diakuai oleh kaum laki-laki sebagai pemimpin walau dalam kurun waktu tertentu. Tapi kaum perempuan sudah mampu tampil dan mengendalikan sistem kekuasaan yang ia pimpin. 

Disini penulis hanya memberikan satu contoh tokoh perempuan yang pernah duduk diatas kursi kekuasaan pada jaman Nusantara diantara perempuan tersebut adalah Sultanah seri Ratu tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, pernah memimpin Aceh ketika sang Ayah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia. 
Ratu Safiah (panggilan penulis) memerintah Aceh ketika sang suami meninggal dunia, sebelum itu suaminya putera Sultan Ahmad dari Pahang melanjutkan kepemimpinan mertuanya Sultan Iskandar Muda. Suami putri Safiah ini yang menggantikan Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Sani (menantu dari Iskandar Muda). Sultan Iskandar Muda pernah memiliki anak laki-laki, namun karena melakukan kesalahan yang fatal anaknya tersebut dihukum mati oleh Iskandar Muda sehingga yang tersisa hanya anak perempuannya. 

Memerintah Aceh selama lima tahun, Iskandar Sani yang berusia muda (25 tahun), juga meninggal dunia secara cepat dan tidak memiliki ahli waris kecuali sang istri Putri Safiah. Meninggalnya Sultan Iskandar Sani ini, membuat para ulama (Hulubalang) kebingungan untuk pencari pengganti Sultan. Dengan Musyawarah yang cukup lama, akhirnya Putri Safiah dianggap layak dan sesuai hukum Islam karena ia ahli waris, para ulama pun mengangkat Putri Safiah menjadi Sultanah yang memimpin Aceh selama kurang lebih 30 Tahun, merupakan waktu yang cukup lama ukuran periode kepemimpinan saat ini. William H. Frederick & Soeri Soeroto, (2005: 249). 

Kepemimpinan Safiatuddin selama 30 tahun inilah bidang kesusasteraan dan keagamaan maju pesat yang melahirkan banyak cendekia dan ulama diantaranya Abdul Rauf, Hamzah Fansuri, dan Nuruddin ar-Raniry. Salah satu karya Hamzah Fansuri yang pernah penulis baca yang dikutip dalam buku Pasing Over (Melintas Batas Agama), karya Hamz.