Bima Menolak Tambang, Mengulang Bara Tragedi Lambu Berdarah -->
Cari Berita

Free Space 970 X 90px

Bima Menolak Tambang, Mengulang Bara Tragedi Lambu Berdarah

Rabu, 03 September 2025

Ady safian Ketua LMND Kab Bima. 

Tulisan oleh : Ady safian Ketua LMND Kab Bima


Di tanah Bima, kehidupan rakyat sejak lama berpaut pada laut, sawah, dan kebun. Orang-orang menggantungkan hidup dari jagung, bawang, ikan, dan ternak. Mereka mungkin tak punya modal besar, tetapi mereka punya tanah dan laut yang diwariskan leluhur. Itulah sumber hidup yang sebenarnya. Namun sejak kata “tambang” digaungkan, kehidupan itu seolah digantung di ujung tanduk. Tambang datang dengan wajah manis: membuka lapangan kerja, menyejahterakan rakyat, memberi pemasukan daerah. Tapi rakyat sudah terlalu sering disuguhi janji kosong. Mereka tahu, di balik janji itu, ada bencana yang menunggu.

Sejarah pertambangan di negeri ini sudah mengajarkan banyak hal. Di mana ada tambang, di sana pula ada kerusakan: sungai tercemar, udara penuh debu, sawah tak lagi subur. Hutan ditebang, air tanah hilang, dan desa-desa kehilangan ruang hidup. Investor menumpuk laba, pejabat mendapat jatah, sementara rakyat hanya mewarisi lubang-lubang menganga dan penyakit. Inilah wajah asli tambang. rakus pada alam, kejam pada manusia.

Bima sendiri bukan tanpa pengalaman. Tahun 2011, rakyat Lambu bangkit melawan rencana tambang yang mengancam tanah mereka. Ribuan warga turun ke jalan, menolak perusahaan yang hendak merampas ruang hidup. Penolakan itu berujung pada tragedi. Gas air mata, peluru, dan darah tumpah di tanah Lambu. Tragedi Lambu Berdarah menjadi saksi betapa mahalnya harga perlawanan. Tetapi meski banyak luka dan kehilangan, rakyat Lambu tidak tunduk. Mereka justru meninggalkan warisan keberanian: bahwa tanah leluhur tidak boleh ditukar dengan janji palsu dari korporasi.

Kini, ketika wacana tambang kembali dihidupkan di Bima, luka lama itu kembali tergores. Rakyat belum lupa. Mereka masih menyimpan ingatan bagaimana pemerintah berdiri di sisi korporasi, bukan di sisi rakyat. Mereka masih ingat bagaimana aparat dipakai sebagai alat kekerasan untuk memukul rakyat sendiri. Ingatan itu kini menjelma menjadi bara, yang siap menyala kembali jika tambang tetap dipaksakan masuk.

Tambang, apapun bentuknya baik dengan bendera IUP korporasi maupun IPR rakyat tetap membawa petaka. Rakyat Bima tidak membutuhkan tambang untuk hidup. Mereka punya tanah yang subur, laut yang kaya, dan tradisi yang telah menghidupi selama berabad-abad. Tambang justru merampas semua itu, mengubah tanah menjadi kawah raksasa, mengubah sungai menjadi aliran racun, dan meninggalkan generasi muda tanpa masa depan.

Pemerintah boleh terus berbicara soal investasi, devisa, dan pembangunan. Tetapi rakyat Bima sudah tahu makna sesungguhnya itu hanyalah topeng untuk mengeruk kekayaan alam dan menguntungkan segelintir elit. Di atas nama pembangunan, rakyat dikorbankan. Di atas nama investasi, alam dihancurkan. Dan di atas nama hukum, rakyat yang mempertahankan tanahnya sendiri malah disebut perusuh.

Hari ini suara rakyat semakin tegas. Bima menolak tambang! Mereka tidak ingin mengulang cerita pilu dari daerah lain yang telah porak-poranda karena tambang. Mereka memilih berdiri tegak mempertahankan tanah, meski harus berhadapan dengan peluru. Dan jika pemerintah masih nekat memaksakan tambang masuk, maka rakyat Bima siap mengulang sejarah Lambu. Karena bagi mereka, lebih baik mati terhormat melawan, daripada hidup hina di tanah yang dirampas.

Sejarah telah menulis rakyat Bima bukan bangsa penakut. Dari Lambu hingga hari ini, mereka selalu berdiri di garis depan untuk menjaga tanahnya. Dan kali ini, bila tambang tetap dipaksakan, tragedi Lambu berdarah bukan tidak mungkin akan terulang bukan karena rakyat ingin, tetapi karena mereka dipaksa. Sebab bagi rakyat Bima, mempertahankan tanah adalah mempertahankan hidup itu sendiri.

Bersambung. 

(**).