Kanker Payudara Stadium 3, Warga Kota Bima Ini Tak Mampu Berobat -->
Cari Berita

Free Space 970 X 90px

Kanker Payudara Stadium 3, Warga Kota Bima Ini Tak Mampu Berobat

Friday, January 18, 2019

Menderita kanker payudara stadiun 3, ibu Mulyati ini hanya bisa terbaling lemah ditempat tidur lantaran tak punya biaya untuk berobat. 
KOTA BIMA, MIMBARNTB.com | Ibu Mulyati (55), warga miskin asal RT 12 RW 04 Kelurahan Tanjung terbaring lemah tak berdaya di tempat tidurnya. Ibu 3 anak ini tak henti mengerang kesakitan saat awak media berkunjung, Jum’at (18/1) pagi. 
Ia didiagnosa dokter menderita penyakit kanker payudara sejak tahun 2017 silam. Lantaran tidak mendapatkan pengobatan maksimal, kanker yang dialaminya kini semakin menjalar menggerogoti bagian tubuh lainnya.
Inilah kondisi rumah Ibu Mulyati tidak layak ditempati, pemerintah terkesan tutup mata. 
Bahkan, hasil analisa medis saat terakhir berobat di RSU Provinsi NTB beberapa bulan lalu, kanker Ibu Mulyati sudah memasuki stadium 3B. Itu artinya semakin parah dan butuh segera ditangani medis secara serius. 

Namun apalah daya, penjual jamu keliling ini bukanlah keluarga berada sehingga tak mampu lagi berobat. Suaminya Saminu (60) sehari-hari hanya penjual bakso. Saat ini, ia juga sudah tidak punya pemasukan lagi karena berhenti berjualan akibat sakit yang dialami sejak 2 tahun lalu. 

Ironisnya, menurut pengakuan Abdul Rahman (31), putra pertama Mulyati, selama sakit Ibu Mulyati sama sekali belum ada perhatian Pemerintah Kota Bima. Pihak RT, RW dan Kelurahan terkesan tutup mata. Puskesmas hanya sekali pernah turun meninjau. Begitu pula Dinas Kesehatan belum ada penanganan apa-apa.

Ibu Mulyati berobat menggunakan Kartu BPJS Kesehatan. Hanya saja, kartu layanan kelas 3 untuk warga tidak mampu ini tidaklah cukup sakti karena banyak kebutuhan obat dan biaya lainnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan. 

Abdul Rahman mengaku telah menghabiskan biaya sekitar Rp20 juta selama beberapa kali berobat. Diantaranya, untuk kemoterapi, kebutuhan darah dan biaya hidup selama pendampingan ibunda saat dirujuk di Mataram. 

“Saya dan ibu terpaksa pulang dari Mataram dan tidak melanjutkan berobat karena tidak punya biaya lagi. Sehari-hari ibu hanya di rumah, berobat seadanya,” ujar Abdul Rahman.

Dul (nama panggilan Abdul Rahman) bercerita, awal ibundanya menderita kanker pada tahun 2017 usai musibah banjir bandang yang melanda Kota Bima. Mulanya hanya benjolan di bagian dada. Karena mengira sakit biasa, sang ibu hanya minum obat tradisional.

Benjolan itu sempat mengecil, tetapi berselang beberapa minggu kembali membesar disertai rasa nyeri tak tertahan. Ibu Mulyati sempat diperiksakan ke dokter dan dirawat di rumah sakit. Setelah melalui tindakan medis biopsi dan benjolan diambil sampel untuk tes, baru diketahui Ibu Mulyati menderita kanker payudara. 

“Saat itulah ibu direkomendasi dirujuk ke Mataram. Selain diharuskan kemoterapi rutin, dibagian luka ibu harus ganti perban rutin dan selalu membutuhkan 3 kantong darah untuk transfusi,” jelasnya.

Pengobatan lanjutan Ibu Mulyati kini terkendala besarnya biaya. Dul dan keluarga hanya bisa pasrah dan tak tahu harus berbuat apalagi untuk kesembuhan ibunda tercinta. 

“Sebenarnya kami ingin ibu dilakukan operasi pengangkatan kanker, tapi biayanya mungkin mahal dan kami tak sanggup membiayai,” ujarnya. (*mb01*)