Kemen PPA Dan KPAI Belum Temukan Anak Sebagai Objek Ekploitasi Pada Tradisi Pacuan Kuda -->
Cari Berita

Free Space 970 X 90px

Kemen PPA Dan KPAI Belum Temukan Anak Sebagai Objek Ekploitasi Pada Tradisi Pacuan Kuda

Monday, November 4, 2019

Kota Bima, mimbarNTB.com — Kepala Bidang Kementerian pemberdayaan perempuan dan anak (Kemen PPA), Agung Budi Santoso AP MH dan Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Mariaty Solihah MSi berkunjung ke Kota Bima. Hasilnya, pihak tersebut belum menemukan adanya anak sebagai objek eksploitasi pada tradisi pacuan kuda Bima. 

Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Mariaty Solihah MSi mengungkapkan, dirinya dan Kabid PA Kementerian PPA sudah bertemu dengan sejumlah pihak, termasuk Wali Kota Bima, para joki cilik, pemilik kuda, masyarakat sekitar dan orang tua joki cilik.

“Kalau memang anak-anak ini terkait terindikasi dieksploitasi, maka pemanfaatan dari hasil joki cilik ini siapa yang menikmati atau tidak. Tadi informasi yang kami dapatkan, mereka (joki cilik) juga mendapatkan, lalu orang tua mereka. Artinya (kalau) wujud eksploitasi, menganggap mereka ini hanya objek. Tidak jadi subjek. Kalau dilihat kan tidak hitam putih, ada irisan anak ini, juga mendapatkan manfaat juga. Oleh karena itu, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ini adalah eksploitasi dan kita menyimpulkan ini tidak ada eksploitasi,” katanya kepada di Kota Bima, Senin (4/11/2019) malam.

Ditegaskannya, kehadiran Kementerian PPA dan KPA, bukan dalam rangka menyimpulkan adanya ekploitasi atau tidak. Namun  ingin memetakan dugaan-dugaan, berdasarkan unsur.sehingga menjadi runjukan atau input perbaikan ke depan. Jika pun ada proses hukum atas masalah pacuan kuda yang terjadi di Kota Bima, pihaknya menghormatinya. 

Kementerian PPA dan KPAI sendiri sudah melihat adanya komitmen dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi pelaksanaan pacuan kuda dan memperbaikinya.Pada saat bertemu Wali Kota Bima, H Muhammad Lutfi SE, KPAI dan Kementerian PPA sudah meliat komitmen.

“Kami melihat adanya kasus pacuan kuda ini, sudah melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga yang ada di sana. Sebetulnya ini, ada suatu pengembangan bakat dan minat dari anak-anak itu. Tapi konteksnya tradisi di sini. Di sinilah perlu kita cari tahu lebih dalam, situasinya seperti apa di daerah. Terus dari situasinya yang ada itu bisa kita petakan nanti,” katanya. 

Diakuinya, pihaknya sudah bertemu dengan kepala dinas terkait. Pihaknya juga sudah berkunjung ke lapangan, di lokasi pacuan kuda, bertemu masyarakat sekitar dan melihat langsung bagaimana kondisi kuda. 

“Ini menjadi sumber informasi penting, sebelum kita bahas bareng-bareng di provinsi, dengan empat kabupaten kota yang punya tradisi pacuan kuda. Sekali lagi ini bukan sekadar pacuan kuda, tapi tradisi tradisi di nusantra ini yang melibatkan anak-anak. Ini yang menjadi poin penting membuat regulasi ke sana. Bagaimana perhatian hak-hak anak untuk tuumbuh kembang dan punya masa depan yang lebih baik,” kata Ai Mariaty.

Menurutnya, tradisi pacuan tidak hanya ada di Bima, melainkan di sejumlah daerah lain, seperti barapan kerbau di Madura. Hanya saja, pemicu munculnya masalah karena adanya insiden pada saat pelaksanaan lomba pacuan kuda di Kota Bima, belum lama ini.

“Ada juga di budaya-budaya (daerah) lain. Hanya kasus ini kebetulan pemicunya ada kasus di Bima yang kemarin. Tapi ini pun ada langkah langkah yang diakukan oleh daerah seperti asesment, kasusnya ini sudah ada rapat-rapat. Sudah ada upaya-upaya untuk memperbaiki sistemnya,” ujar Ai Mariaty.

“Dan ini menjadi cikal bakal atlet berprestasi ke depannya, kita tidak bisa duduk sendiri, tapi duduk bareng bareng, dari sisi keluarga, dari sisi lingkungan, termasuk para penggiat dan budayawan, tokoh-tokoh setempat dan pemerintah daerah,” lanjutnya.

Kepala Bidang Perlindungan Anak, Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Agung Budi Santoso AP MH mengatakan, pihaknya sepakat bahwa budaya seperti tradisi pacuan kuda tetap dilestarikan. Akan teatpi ada nilai-nilai yang perlu dipahami. Terutama  bahwa bagaimana anak-anak mendapatkan hak mereka, tetap bisa sekolah dan mendapatkan hak pendidikan. 

“Kemudian mereka juga keselamatan diperhatikan, jangan sampai ketika kejadian kemarin. Terjadi lagi, bagaimana upaya pencegahan, supaya tidak terjadi lagi. Soal eksploitasi anak, perlindungan seperti iapa dan renana ke depan seperti apa,” katanya.

Komisioner KPAI, Ai Mariaty menambahkan, memastikan adanya eksploitasi anak pada tradisi budaya, tidak bisa asal menebak. Karena hal itu masuk dalam kategori pidana, sehingga harus ada pendalaman. “Kalau kami KPAI sedang menverifikasi, adakah unsur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, kesesuaian dengan kasus ini,” katanya. 

Jika memang anak yang menjadi joki cilik terindikasi dieksploitasi, maka pemanfaatan dari hasil joki cilik yang harus dilihat. “Tadi informasi yang kami dapatkan mereka juga mendapatkan, lalu orang tua mereka. Artinya wujud eksploitasi, menganggap mereka ini hanya objek. Tidak jadi subjek. Kalau dilihat kan tidak hitam putih, ada irisan anak ini juga mendapatkan manfaat juga,” tandasnya. (Tim)